BUMI MALANG MIG33

www.bumimalang.tk
Photobucket
e-book Usaha Toko Sembako
SELAMAT DATANG DI BUMI MALANG SATU BUMI UNTUK MALANG by hagemaru_j
e-book Usaha Toko Sembako hagemaru_j




Selasa, 27 September 2011

Bopong Aku


Pada hari pernikahan, aku membopong istriku. Mobil pengantin berhenti di depan flat kami yang cuma berkamar satu. Sahabatku menyuruhku untuk membopongnya begitu keluar dari mobil. Jadi kubopong ia memasuki rumah kami. Ia kelihatan malu-malu. Aku adalah seorang pengantin pria yang sangat bahagia. Dan ia sangat tahu itu.


Ini adalah kejadian 10 tahun yang lalu. Hari-hari selanjutnya berlalu
demikian simpel seperti secangkir air bening: Kami mempunyai seorang
anak, saya terjun ke dunia usaha dan berusaha untuk menghasilkan banyak uang. Begitu kemakmuran meningkat, jalinan kasih diantara kami pun semakin surut. Ia adalah pegawai sipil.
setiap pagi kami berangkat kerja bersama dan sampai di rumah juga pada waktu yang bersamaan. Anak kami sedang belajar di luar negeri. Perkawinan kami kelihatan bahagia. Tapi ketenangan hidup berubah dipengaruhi oleh perubahan yang tidak kusangka...

Dewi hadir dalam kehidupanku.

Waktu itu adalah hari yang cerah. Aku berdiri di balkon. dengan Dewi
yang sedang merangkulku. Hatiku sekali lagi terbenam dalam aliran
cintanya. ini adalah apartemen yang kubelikan untuknya..

Dewi berkata, "Kamu adalah jenis pria terbaik yang menarik para gadis."
Kata-katanya tiba-tiba mengingatkanku pada istriku. Ketika kami baru
menikah, istriku pernah berkata, "Pria sepertimu, begitu sukses, akan
menjadi sangat menarik bagi para gadis." Berpikir tentang ini, Aku
menjadi ragu-ragu. Aku tahu kalau aku telah menghianati istriku. Tapi
aku tidak sanggup menghentikannya. Aku melepaskan tangan Dewi dan
berkata, "Kamu harus pergi membeli beberapa perabot, O.K.? Aku ada
sedikit urusan di kantor."

Kelihatan ia jadi tidak senang karena aku telah berjanji menemaninya.
Pada saat tersebut, ide perceraian menjadi semakin jelas di pikiranku
walaupun kelihatan tidak mungkin. Bagaimanapun, aku merasa sangat sulit untuk membicarakan hal ini pada istriku. Walau bagaimanapun kujelaskan, ia pasti akan sangat terluka. Sejujurnya, ia adalah seorang istri yang baik. Setiap malam ia sibuk menyiapkan makan malam. Aku duduk santai di depan TV. Makan malam segera tersedia. Lalu kami akan menonton TV bersama. Atau, aku akan menghidupkan komputer, membayangkan tubuh Dewi.
Ini adalah hiburan bagiku.

Suatu hari aku berbicara dalam guyon, "Seandainya kita bercerai, apa
yang akan kau lakukan?" Ia menatap padaku selama beberapa detik tanpa bersuara. Kenyataannya ia percaya bahwa perceraian adalah sesuatu yang sangat jauh darinya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ia akan menghadapi kenyataan jika tahu bahwa aku serius.

ketika istriku mengunjungi kantorku, Dewi baru saja keluar dari
ruanganku. Hampir seluruh staff menatap istriku dengan mata penuh
simpati dan berusaha untuk menyembunyikan segala sesuatu selama
berbicara dengannya. Ia kelihatan sedikit curiga. Ia berusaha tersenyum
pada bawahanku. Tapi aku membaca ada kelukaan di matanya.

Sekali lagi, Dewi berkata padaku, "Hei Ning, ceraikan ia, O.K? Lalu kita
akan hidup bersama." Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak boleh ragu lagi.
Ketika malam itu istriku menyiapkan makan malam, kupegang tangannya,
" Ada sesuatu yang harus kukatakan" Ia duduk diam dan makan tanpa
bersuara. Sekali lagi aku melihat ada luka di matanya. Tiba-tiba aku
tidak tahu harus berkata apa. Tapi ia tahu kalau aku terus berpikir.
"Aku ingin bercerai," kuungkapkan topik ini dengan serius tapi tenang.
Ia seperti tidak terpengaruh oleh kata-kataku, tapi ia bertanya secara
lembut, "Kenapa?"

"Aku serius." Aku menghindari pertanyaannya. Jawaban ini membuat ia
sangat marah. Ia melemparkan sumpit dan berteriak kepadaku, "Kamu bukan laki-laki!"

Pada malam itu, kami sekali saling membisu. Ia sedang menangis. Aku tahu kalau ia ingin tahu apa yang telah terjadi dengan perkawinan kami. Tapi aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan sebab hatiku telah dibawa pergi oleh Dewi.

Dengan perasaan yang amat bersalah, Aku menuliskan surai perceraian di mana istriku memperoleh rumah, mobil dan 30% saham dari perusahaanku. Ia memandangnya sekilas dan mengoyaknya jadi beberapa bagian. Aku merasakan sakit dalam hati. Wanita yang telah 10 tahun hidup bersamaku sekarang menjadi seorang yang asing dalam hidupku. Tapi aku tidak bisa mengembalikan apa yang telah kuucapkan.

Akhirnya ia menangis dengan keras di depanku, hal tersebut tidak pernah
kulihat sebelumnya. Bagiku, tangisannya merupakan suatu pembebasan
untukku. Ide perceraian telah menghantuiku dalam beberapa minggu ini dan sekarang sungguh telah terjadi...

Pada larut malam, aku kembali ke rumah setelah menemui klienku. Aku
melihat ia sedang menulis sesuatu. Karena capek aku segera ketiduran.
Ketika aku terbangun tengah malam, aku melihat ia masih menulis. Aku
tertidur kembali. Ia menuliskan syarat dari perceraiannya: ia tidak
menginginkan apa pun dariku, tapi aku harus memberikan waktu sebulan
sebelum menceraikannya, dan dalam waktu sebulan itu kami harus hidup
bersama seperti biasanya.

Alasannya sangat sederhana: Anak kami akan segera menyelesaikkan
pendidikannya dan liburannya adalah sebulan lagi dan ia tidak ingin anak
kami melihat kehancuran rumah tangga kami. Ia menyerahkan persyaratan tersebut dan bertanya, "Hei Ning, apakah kamu masih ingat bagaimana aku memasuki rumah kita ketika pada hari pernikahan kita?"

Pertanyaan ini tiba-tiba mengembalikan beberapa kenangan indah kepadaku. Aku mengangguk dan mengiyakan.

"Kamu membopongku di lenganmu", katanya, "jadi aku punya
sebuah permintaan, yaitu kamu akan tetap membopongkuku pada waktu
perceraian kita. Dari sekarang sampai akhir bulan ini, setiap pagi kamu
harus membopongku keluar dari kamar tidur ke pintu ." Aku menerima
dengan senyum.. Aku tahu ia merindukan beberapa kenangan indah yang telah berlalu dan berharap perkawinannya diakhiri dengan suasana romantis.

Aku memberitahukan Dewi soal syarat perceraian dari istriku. Ia tertawa
keras dan berpikir itu tidak ada gunanya. "Bagaimanapun trik yang ia
lakukan, ia harus menghadapi hasil dari perceraian ini," ia mencemooh.
Kata-katanya membuatku merasa tidak enak.

Istriku dan aku tidak mengadakan kontak badan lagi sejak kukatakan
perceraian itu. Kami saling menganggap orang asing. Jadi ketika aku
membopongnya di hari pertama, kami kelihatan salah tingkah. Anak kami
menepuk punggung kami, "Wah, papa membopong mama, mesra sekali."
Kata-katanya membuatku merasa sakit...
Dari kamar tidur ke ruang duduk, lalu ke pintu, aku berjalan 10 meter dengan ia dalam lenganku. Ia memejamkan mata dan berkata dengan lembut, "Mari kita mulai hari ini, jangan memberitahukan pada anak kita." Aku mengangguk, merasa sedikit bimbang. Aku melepaskan ia di pintu. Ia pergi menunggu bus, dan aku pergi ke kantor.

Pada hari kedua, bagi kami terasa lebih mudah. Ia merebah di dadaku,
kami begitu dekat sampai-sampai aku bisa mencium wangi di bajunya. Aku menyadari bahwa aku telah sangat lama tidak melihat dengan mesra wanita ini. Aku melihat bahwa ia tidak muda lagi, beberapa kerut tampak di wajahnya.

Pada hari ketiga, ia berbisik padaku, "kebun dil uar sedang dibongkar,
hati-hati kalau kamu lewat sana ."

Hari keempat, ketika aku membangunkannya, aku merasa kalau kami masih mesra seperti sepasang suami istri dan aku masih membopong kekasihku di lenganku. Bayangan Dewi menjadi samar.

Pada hari kelima dan enam, ia masih mengingatkan aku beberapa hal,
seperti, di mana ia telah menyimpan bajuku yang telah ia setrika, aku
harus hati-hati saat memasak, dll. Aku mengangguk. Perasaan kedekatan
terasa semakin erat. Aku tidak memberitahu Dewi tentang ini..

Aku merasa begitu ringan membopongnya. Berharap setiap hari pergi ke
kantor bisa membuatku semakin kuat. Aku berkata padanya, "Kelihatannya tidaklah sulit membopongmu sekarang"

Ia sedang mencoba pakaiannya, aku sedang menunggu untuk membopongnya keluar. Ia berusaha mencoba beberapa tapi tidak bisa menemukan yang cocok. Lalu ia melihat, "Semua pakaianku kebesaran". Aku tersenyum. Tapi tiba-tiba aku menyadarinya sebab ia semakin kurus. Itu sebabnya aku bisa membopongnya dengan ringan bukan disebabkan aku semakin kuat. Aku tahu ia mengubur semua kesedihannya dalam hati. Sekali lagi, aku merasakan sakit.

Tanpa sadar ku sentuh kepalanya. Anak kami masuk pada saat tersebut.
"Pa, sudah waktunya membopong Mama keluar." Baginya, melihat papanya sedang membopong mamanya keluar menjadi bagian yang penting. Ia memberikan isyarat agar anak kami mendekatinya dan merangkulnya dengan erat. Aku membalikkan wajah sebab aku takut aku akan berubah pikiran pada detik terakhir. Aku menyanggah ia di lenganku, berjalan dari kamar tidur, melewati ruang duduk ke teras.

Tangannya memegangku secara lembut dan alami. Aku menyanggah
badannya dengan kuat seperti kami kembali ke hari pernikahan. Tapi ia kelihatan agak pucat dan kurus, membuatku sedih.

Pada hari terakhir, ketika aku membopongnya di lenganku, aku melangkah dengan berat. Anak kami telah kembali ke sekolah. ia berkata, "Sesungguhnya aku berharap kamu akan membopongku sampai kita tua" Aku memeluknya dengan kuat dan berkata, "Antara kita saling tidak menyadari bahwa kehidupan kita begitu mesra".

Aku melompat turun dari mobil tanpa sempat menguncinya. Aku takut
keterlambatan akan membuat pikiranku berubah. Aku menaiki tangga. Dewi
membuka pintu. Aku berkata padanya, "Maaf Dewi, Aku tidak ingin
bercerai. Aku serius".

Ia melihat kepadaku, kaget. Ia menyentuh dahiku. "Kamu tidak demam".
Kutepiskan tanganya dari dahiku, "Maaf Dewi, aku cuma bisa bilang maaf
padamu, aku tidak ingin bercerai. Kehidupan rumah tanggaku membosankan
disebabkan ia dan aku tidak bisa merasakan nilai dari kehidupan, bukan
disebabkan kami tidak saling mencintai lagi. Sekarang aku mengerti sejak aku membopongnya masuk ke rumahku, ia telah melahirkan anakku. Aku akan menjaganya sampai tua. Jadi aku minta maaf padamu."

Dewi tiba-tiba seperti tersadar. Ia memberikan tamparan keras kepadaku
dan menutup pintu dengan kencang dan tangisannya meledak. Aku menuruni tangga dan pergi ke kantor. Dalam perjalanan aku melewati sebuah toko bunga, kupesan sebuah buket bunga kesayangan istriku. Penjual bertanya apa yang mesti ia tulis dalam kartu ucapan? Aku tersenyum, dan menulis:

"Aku akan membopongmu setiap pagi, sampai kita tua

Read more...

BUMI MALANG MIG33 COMUNITY

Pengikut

About This Blog

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP