BUMI MALANG MIG33

www.bumimalang.tk
Photobucket
e-book Usaha Toko Sembako
SELAMAT DATANG DI BUMI MALANG SATU BUMI UNTUK MALANG by hagemaru_j
e-book Usaha Toko Sembako hagemaru_j




Selasa, 16 November 2010

Misteri benang merah kerajaan mataram dan gunung merapi

Sutawijaya adalah putra sulung pasangan ki ageng pamanahan dan nyai sabinah,..
Sutawijaya juga diambil anak angkat oleh hadiwijaya bupati pajang sebagai pancingan, karena pernikahan hadiwijaya dan istrinya belum dikaruniai anak oleh yg kuasa ( di jawa jika seorang suami istri belum dkaruniai anak ada kepercayaan jika mengasuh anak orang akan segera dikaruniai anak juga ( umpan) )
Pada tahun 1549 hadiwijaya mengadakan sayembara untuk menumpas arya penangsang.
Arya penangsang adalah bupati jipang panolan yg membunuh sunan prawoto raja traher kesultanan demak. . .
Sutawijaya di ajak ayah kandungnya berperang melawan arya penangsang padahal waktu itu usia sutawijaya maseh belasan tahun. . .
Sebenarnya mengajak sutawijaya ikut berperang tak lain supaya ayah angkat dari sutawijaya yakni hadiwijaya supaya kasihan dan mengirimkan sebagian pasukan pajang untuk membatu bertempur melawan arya penangsang, strategi Ki ageng pamanahan pun berhasil membuat hadiwijaya mengirimkan bntuan dalam pertempuran melawan arya penangsan, dan akhirnya arya penangsang berhasil dibunuh oleh sutawijaya, akan tetapi laporan tewasnya arya penangsang sedikit di palsukan yakni arya penangsang berhasil dibunuh dengan cara dikeroyok oleh ki ageng pamanahan dan ki panjawi, karena dihawatirkan jika sultan hadiwijaya mengetahui kisah sebenarnya( bahwa yg membunuh bupati jipang panolan adalah anak angkatnya sendiri) dihawatirkan ia akan lupa memberikan hadiah dari sayembara yg di adakan. .

Sebagai hadiah dari sayembara tersebut ki panjawi mendapat tanah pati dan menjadi bupati disana sejak 1549, sedangkan ki ageng pamanahan baru mendapatkan tanah mataram tahun 1556, sepeninggalan ki ageng pamanahan tahun 1575, sutawijaya menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pemimpin mataram yg bergelar senapati ingalaga yg artinya panglima medan perang


Sejarah buku vs cerita mistik rakyat

Setelah sutawijaya memimpin mataram dia ingin memerdekakan mataram dari pajang, akan tetapi pada saat mendirikan benteng-benteng banyak para prajuritnya yang tewas secara tidak wajar, melihat kejadian yang janggal ini, sutawijaya akhirnya bertapa disebuah gua di dekat laut kidul(pantai selatan)
Tirakat yang sungguh-sungguh dari sutawijaya ini pun dilihat oleh ratu pantai selatan dan berniat untuk menguji sutawijaya dengan mengirim para panglima kerajaan pantai selatan, namun semuanya kembali dengan nihil, niat sutawijaya tidak tergoyahkan kemudian sang ratu pantai selatan pun turun tangan sendiri untuk menguji sutawijaya. .
Pertama ratu pantai selatan datang dengan berwujud naga api menyembur menghampiri sutawijaya akan tetapi sutawijya tidak takut sama sekali kemudian sang ratu menghampiri sutawijaya dengan berwujud gadis cantik tanpa mengenakan sehelai pakaianpun Melihat gadis cantik tanpa busana yang melekat pada tubuhnya membuat iman sutawijaya sedikit goyah namun akhirnya dia kembali fokus dan meng acuhkan sang ratu tersebut, akhirnya ratu laut selatan kembali kewujud aslinya dan menanyakan apa keinginan sutawijaya. .
Sutawijaya pun menceritakan prihal pertapanya tersebut dan ratu kidul/selatan pun menyanggupi untuk mengusir penunggu tanah kerajaan sutawijaya ( yg merupakan anak buah ratu kidul sendiri), tapi dengan syarat kamu(sutowijoyo) dan 7 anak temurun yang menjadi raja mataram harus menikah denganku (ratu pantai selatan) maka aku akan menjaga kerajaan mataram sampai 7 turunan,. .
Svawijaya pun menyetujui syarat dari ratu pantai selatan tersebut. Kemudian sutawijaya bertanya kepada ratu pantai selatan, kemanakah perginya penunggu itu.
Ratu pantai selatan menjawab, kegunung sekitar jogjakarta, maka sutawijya menyuruh bawahannya untuk bertugas sebagai Kunci di gunung sekitar yogyakarta. Jadi tugas juru kunci gunung di sekitar jogjakarta adalah sebagai pengawas anak buahnya ratu kidul agar mengetahui jika terjadi masalah di gunung berapi

Read more...

Soeharto dan Kebijakan Anti-Tionghoa

Jakarta – Era kepemimpinan Soekarno, Tionghoa Indonesia menikmati kebijakan multiras yang mengayomi seluruh golongan dan bulan madu dengan penguasa. Bahkan salah satu orang terdekat Soekarno adalah Oei Tjoe Tat yang terakhir menjabat sebagai menteri dalam Kabinet Dwikora.
Begitu presiden pertama republik tak berdaya, dengan surat sakti Supersemar Soeharto menjadi digdaya. Berbalik 180 derajat pula kebijakannya yang semula merangkul, menjadi memusuhi Tionghoa.“Selaras dengan terjadinya Gerakan 30 September (G30S), dimulailah kampanye sinophopia atau anti-Tionghoa yang luas, disponsori kekuatan asing, terutama Inggris dan Amerika Serikat (AS). Di dalam negeri, Lembaga Pembinaan dan Kesatuan Bangsa (LPKB) menggunakan momen ini untuk menghantam Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki),” kata Benny G.Setiono, penulis buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik.
Ia mencatat dalam Bab 49 bukunya, 25 Maret 1966 pemerintah menutup perwakilan kantor berita Hsinhua (sekarang ditulis Xinhua) dan mencabut seluruh kartu pers wartawannya.
“Mereka membelokkan opini rakyat Indonesia dengan menyatakan musuh bangsa dan rakyat Indonesia yang sesungguhnya adalah China yang berasal dari utara, yakni Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Dengan serentak semua media massa Indonesia - yang lolos screening Angkatan Darat dan diizinkan terbit kembali – melakukan propaganda anti-Tionghoa dan anti-RRT,” tambah Benny.
Lebih jauh ia menjelaskan pada masa Orde Lama, inflasi menggila, sehingga dengan mudah Orde Baru menimpakan semua kesalahan pada orang Tionghoa yang dicap sebagai Kolone Kelima, tukang timbun, dan tidak peduli kepentingan rakyat.
Maka meletuslah kerusuhan anti-Tionghoa yang diiringi penjarahan, perusakan bahkan pembakaran rumah, toko, sekolah, mobil dan segala yang berbau Tionghoa. Termasuk unjuk rasa dan penyerangan Konsulat RRT di Medan, Jakarta, dan Makassar.

Berbagai Larangan
Benny yang waktu itu mahasiswa Universitas Res Publica menyaksikan mulai April 1966 tindakan kesatuan-kesatuan aksi mendapat dukungan militer yang mengeluarkan perintah penutupan 629 sekolah-sekolah Tionghoa, sehingga 272.782 murid dan 6.478 gurunya terlantar.
Dengan Surat Keputusan 6 Juli 1966, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melarang murid eks sekolah Tionghoa ditampung di sekolah swasta nasional, sedang di sekolah negeri hanya dibatasi kurang dari lima persen saja.
Tidak itu saja, Benny menyebutkan tanggal 8 Mei 1966 Pangdam Aceh, Brigjen Ishak Djuarsa memerintahkan seluruh Tionghoa WNA meninggalkan Aceh sebelum 17 Agustus 1966. Alhasil lebih dari 15.000 Tionghoa terpaksa angkat kaki dari Serambi Mekkah.
Sementara Pangdam Sriwijaya, Brigjen Makmun Murod mengizinkan Tionghoa WNA tinggal hanya di Pulau Bangka Belitung, kalau tidak mau, dipersilakan pulang ke RRT. Tanggal 20 Desember 1966 Brigjen Ryachudu mengusir ketua dan seluruh pengurus Chung Hua Kung Hui dari Kalimantan Barat. Sehari kemudian Walikota Makassar melarang Tionghoa WNA berdagang kebutuhan bahan pokok,
Benny menambahkan Juli 1966 Pangdam Brawijaya, Mayjen Soemitro melarang seluruh koran Tionghoa dan melarang penggunaan huruf dan bahasa China di muka umum, termasuk buku. Soemitro juga melarang Tionghoa WNA/stateless berdagang di kota, kecuali Surabaya; dilarang pindah domisili, dikenai pajak Rp 2.500 per jiwa dan menutup seluruh kelenteng di Jawa Timur dan Madura.
Bahkan 3 dan 21 Januari 1967 toko-toko Tionghoa WNA di luar Surabaya harus ditutup dan uang hasil penjualan barang dideposito dan dilaporkan ke panitia daerah. Dalam prakteknya, sumber SH mengalami tokonya diambil-alih tentara begitu saja, tanpa proses hukum apapun dan dibiarkan terlunta-lunta.

Kebijakan Resmi
Orde Baru menerapkan kebijakan melarang segala yang berbau Tionghoa, mulai dari yang paling ringan seperti ganti nama. Ini merupakan keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/12/1966.
Pengacara kenamaan Yap Thiam Hien mencatat tidak kurang dari 13 dokumen yang perlu diganti bersamaan dengan aturan ganti nama itu. Mulai dari Kartu Tanpa Penduduk, akta-akta, hingga berbagai rekening yang jelas memakan biaya tidak sedikit.
Seminar Kedua Angkatan Darat di Seskoad Bandung, 25-31 Agustus 1966 dipimpin Mayjen Suwarto memutuskan mengganti RRT menjadi RRC dan orang Tionghoa menjadi orang China. Keputusan ini dikukuhkan dengan Surat Edaran Presidium Kabinet RI No.SE-06/Preskab/6/1967 tanggal 20 Juni 1967.
Tanggal 6 Desember 1967 Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-Istiadat China. Isinya semua upacara agama, kepercayaan dan adat-istiadat China hanya boleh dilakukan di lingkungan keluarga atau di dalam ruangan tertutup. Maka lenyaplah perayaan Tahun Baru Imlek, capgomeh, lomba perahu naga, bahkan tarian barongsai.
Ini disusul dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.4555.2-360 Tahun 1968 mengenai Penataan Kelenteng. Berikutnya ada Surat Edaran Menteri Penerangan No.02/SE/Ditjen/PPG/K/1988 yang melarang penerbitan dan percetakan tulisan/iklan beraksara dan berbahasa China.
Lalu Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri mengukuhkan penerapan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) melalui SKB 01-UM.09.30.80 No.42. Kebijakan-kebijakan ini jelas-jelas mendiskriminasi Tionghoa Indonesia.

Melestarikan Rasialisme
Sepanjang era Soeharto nyaris tiada tahun tanpa tindakan rasial terhadap Tionghoa, baik yang dilakukan langsung aparat negara maupun ledakan gerakan massa yang sudah terlanjur disulut sentimen anti-Tionghoa. Benny mengingatkan huru-hara anti-Tionghoa di Bandung, 5 Agustus 1973.
Pemicunya tukang gerobak Asep bin Tosin tersenggol mobil VW yang dikendarai pemuda Tionghoa. Lalu Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) yang semula unjuk rasa menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka menjadi aksi rasialis terhadap toko-toko Tionghoa di Jakarta.
Dipicu perkelahian tiga siswa SGO di Solo, 22 November 1980, pecah kerusuhan anti-Tionghoa yang melebar ke Boyolali, Salatiga, Ambarawa, hingga melumpuhkan Semarang sampai tanggal 25 November.
Menjelang kejatuhan Soeharto, kerusuhan bukannya surut, malah menjadi-janji. Sebut saja di Purwakarta, 31 Oktober-2 November 1995; Pekalongan, 24 November 1995; Situbondo, 10 Oktober 1996; Tasikmalaya, 26 Desember 1996; Sanggau Ledo, 30 Desember 1995 - 2 Januari 1996; Tanah Abang, 28 Januari 1997; Rengasdengklok, 27-31 Januari 1997; Banjarmasin, 23 Mei 1997; Makassar, 15 September 1997 dan masih banyak lagi yang tidak terekam media.
Kerusuhan yang ujung-ujungnya menyasar toko-toko Tionghoa mencapai puncaknya pada 13-15 Mei 1998 yang dikenal sebagai May Riot di Jakarta dan sekitarnya.

Percukongan
Benny mengingatkan selain merangkul teknokrat lulusan negara kapitalis, Soeharto paham yang bisa menggerakkan sektor riil adalah Tionghoa. Maka ia menjadikan Tionghoa sebagai kroninya, apalagi yang sudah hopeng (akrab) dengannya sejak menjabat Pangdam Diponegoro, seperti Pek Kiong dan Liem Soe Liong (Sudono Salim).
“Soeharto menggunakan percukongan. Dari lurah sampai pangdam ada cukong di belakangnya. Di balik cukong ada pejabat,” jelas Benny lugas.
Jelas Soeharto merepresi hak-hak politik dan budaya kaum Tionghoa, namun memberi ruang gerak di sektor bisnis. Benny menyebutkan menggunakan Tionghoa semata sebagai ‘binatang ekonomi’ untuk kepentingan diri dan kroni-kroninya

sumber : http://murtadinkafirun.forumotion.net/tao-kong-hu-cu-f7/soeharto-dan-kebijakan-anti-tionghoa-t6180.htm

Read more...

Mengenang Usman & Harun


marinir

Baru saja TNI AL selesai melaksanakan tugas-tugas operasi dalam mengembalikan Irian Barat ke wilayah kekuasaan RI, timbul lagi masalah baru yang harus dihadapi oleh seluruh bangsa Indonesia, dengan dikomandokannya Dwikora oleh Presiden Sukarno pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta. Komando tersebut mendapat sambutan dari lapisan masyarakat, termasuk ABRI. Hal ini terbukti bahwa rakyat Indonesia berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai sukarelawan Dwikora sehingga mencapai jumlah 21 juta sukarelawan.

Penggunaan tenaga sukarelawan ini membawa dampak yang besar. Dilihat dari segi positifnya memang sangat menguntungkan, karena perang yang akan dihadapi tidak secara frontal, sehingga akan membingungkan pihak lawan. Tetapi dari segi negatif kurang menguntungkan, karena apabila sukarelawan itu tertangkap ia akan diperlakukan sebagai penjahat biasa, jadi bukan sebagai tawanan perang di lindungi oleh UU Perang. Jika Sukarelawan itu tertangkap oleh lawan, resikonya disiksa secara kejam.

Untuk melindungi Operasi tersebut di atas, KOTI kemudian memutuskan untuk mempergunakan tenaga-tenaga militer lebih banyak guna mendampingi sukarelawan-sukarelawan tersebut, memperkuat kekuatan Sukarelawan Indonesia di daerah musuh.
Untuk mendukung Operasi A. KKO AL mengirimkan 300 orang anggota yang terdiri dari Kopral sampai Perwira. Sebelum melaksanakan Operasi A. mereka diwajibkan mengikuti pendidikan khusus di Cisarua Bogor. Selesai latihan mereka dibagi dalam tim-tim dengan kode Kesatuan Brahma dan ditugaskan di daerah Semenanjung Malaya (Basis II) dan di Kalimantan Utara (Basis IV). Yang dikerahkan di Semenanjung Malaya terdiri dari tim Brahma I beranggotakan 45 orang, tim Brahma II 50 orang, tim Brahma III 45 orang dan tim Brahma V 22 orang.

Semenanjung Malaya (Basis II) dibagi beberapa Sub. Basis:
1. Sub Basis X yang berpangkalan di P. Sambu dan Rengat dengan sasaran Singapura.
2. Sub. Basis Y dengan sasaran Johor bagian barat dan Pangkalan Tanjung Balai.
3. Sub. Basis T yang berpangkalan di P. Sambu dengan sasaran Negeri Sembilan, Selangor dan Kuala Lumpur.
4. Sub. Basis Z dengan sasaran Johor bagian timur.
Sedangkan Tugas Basis II:
1. Mempersiapkan kantong gerilya di daerah lawan.
2. Melatih gerilyawan dari dalam dan mengembalikan lagi ke daerah masing-masing.
3. Melaksanakan demolision, sabotase pada obyek militer maupun ekonomis.
4. Mengadakan propaganda, perang urat syarat
5. Mengumpulkan informasi.
6. Melakukan kontra inteljen.

Dalam operasi ini Janatin/Usman melakukan tugas ke wilayah Basis II. A Koti, ia berangkat menuju Pulau Sambu sebagai Sub Basis dengan menggunakan kapal jenis MTB. Kemudian menggabungkan diri dengan Tim Brahma I di bawah pimpinan Kapten Paulus Subekti yang pada waktu itu menyamar dengan pangkat Letkol KKO - AL dan merangkap menjadi Komandan Basis X yang berpangkalan di Pulau Sambu Riau. Ketika Usman menggabungkan dengan kawan-kawannya,, ia berkenalan dengan Harun dan Gani bin Arup, mereka ini merupakan sahabat yang akrab dalam pergaulan. Dalam tim ini Usman dan Harun mendapat tugas yang sama untuk mengadakan sabotase di Singapura.

Meskipun Usman bertindak sebagai Komandan Tim dan usianya sedikit lebih tua dari Harun, demikian pula ia lebih banyak berpengalaman dalam bidang militer, tetapi ia mengakui masih kurang pengalaman dalam wilayah Singapura. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugasnya di Singapura, ia lebih banyak memberikan informasi kepada Usman. Harun telah hafal betul tentang keadaan dan tempat-tempat di Singapura, karena Harun pernah tinggal di sana. Tetapi sebagai seorang militer, mereka masing-masing telah mengetahui apa tugas-tugas mereka sebagai Komandan dan bawahan.

. Karena ketatnya penjagaan daerah lawan dan sukar ditembus maka satu-satunya jalan yang ditempuh ialah menyamar sebagai pedagang yang akan memasukkan barang dagangannya ke wilayah Malaysia dan Singapura. Usaha tersebut kelihatan membawa hasil yang memuaskan, karena dengan jalan ini anggota sukarelawan berhasil masuk ke daerah lawan yang kemudian dapat memperoleh petunjuk yang diperlukan untuk melakukan tindakan selanjutnya. Dari penyamaran sebagai pedagang ini banyak diperoleh data yang penting bagi para Sukarelawan untuk melakukan kegiatan. Dengan taktik demikian para Sukarelawan telah berhasil menyusup beberapa kali ke luar masuk daerah musuh.

Untuk memasuki daerah musuh agar tidak menimbulkan kecurigaan lawan, para sukarelawan menggunakan nama samaran, nama di sini disesuaikan dengan nama-nama dimana daerah lawan yang dimasuki. Demikian Janatin mengganti namanya dengan Usman dan disambungkan dengan nama orang tuanya Haji Muhammad Ali. Sehingga nama samaran ini lengkapnya Usman bin Haji Muhammad Ali. Sedangkan Tohir menggunakan nama samaran Harun, dan lengkapnya Harun bin Said. Dengan nama samaran ini Usman, Harun dan Gani melakukan penyusupan ke daerah Singapura untuk melakukan penyelidikan dan pengintaian tempat-tempat yang dianggap penting.

Sedangkan di front belakang telah siap siaga kekuatan tempur yang setiap saat dapat digerakkan untuk memberikan pukulan terhadap lawan. Kekuatan ini terus bergerak di daerah sepanjang perbatasan untuk mendukung para Sukarelawan yang menyusup ke daerah lawan dan apabila perlu akan memberikan bantuan berupa perlindungan terhadap Sukarelawan yang dikejar oleh musuh di daerah perbatasan.


Memasuki wilayah Singapura.
Tanggal 8 Maret 1965 pada waktu tengah malam buta, saat air laut tenang ketiga Sukarelawan ini mendayung perahu,Sukarelawan itu dapat melakukan tugasnya berkat latihan-latihan dan ketabahan mereka.
Dengan cara hati-hati dan orientasi yang terarah mereka mengamati tempat-tempat penting yang akan dijadikan obyek sasaran, dan tugas mengamati sasaran-sasaran ini dilakukan sampa larut malam. Setelah memberikan laporan singkat, mereka mengadakan pertemuan di tempat rahasia untuk melaporkan hasil pengamatan masing-masing. Atas kelihaiannya mereka dapat berhasil kembali ke induk pasukannya, yaitu Pulau Sambu sebaga Basis II dimana Usman dan Harus bertugas.

Pada malam harinya Usman memesan anak buahnya agar berkumpul kembali untuk merencanakan tugas-tugas yang haru dilaksanakan, disesuaikan dengan hasil penyelidikan mereka masing-masing. Setelah memberikan laporan singkat, mereka mengadakan perundingan tentang langkah yang akan ditempuh karena
belum adanya rasa kepuasan tentang penelitian singkat yang mereka lakukan, ketiga Sukarelawan di bawah Pimpinan Usman, bersepakat untuk kembali lagi ke daerah sasaran untuk melakukan penelitian yang mendalam. Sehingga apa yang dibebankan oleh atasannya akan membawa hasil yang gemilang.

Di tengah malam buta, di saat kota Singapura mulai sepi dengan kebulatan dan kesepakatan, mereka memutuskan untuk melakukan peledakan Hotel Mac Donald, Diharapkan dapat menimbulkan kepanikan dalam masyarakat sekitarnya. Hotel tersebut terletak di Orchad Road sebuah pusat keramaian d kota Singapura.
Pada malam harinya Usman dan kedua anggotanya kembali menyusuri Orchad Road. Di tengah-tengah kesibukan dan keramaian kota Singapura ketiga putra Indonesia bergerak menuju ke sasaran yang ditentukan, tetapi karena pada saat itu suasana belum mengijinkan akhirnya mereka menunggu waktu yang
paling tepat untuk menjalankan tugas. Setelah berangsur angsur sepi, mulailah mereka dengan gesit mengadakan gerakan gerakan menyusup untuk memasang bahan peledak seberat 12,5 kg.

Dalam keheningan malam kira-kira pukul 03.07 malam tersentaklah penduduk kota Singapura oleh ledakan yang dahsyat seperti gunung meletus. Ternyata ledakan tersebut berasal dari bagian bawah Hotel Mac Donald yang terbuat dari beton cor tulang hancur berantakan dan pecahannya menyebar ke penjuru
sekitarnya. Penghuni hotel yang mewah itu kalang kabut, saling berdesakan ingin keluar untuk menyelamatkan diri masing-masing. Demikian pula penghuni toko sekitarnya berusaha lari dari dalam tokonya.

Beberapa penghuni hotel dan toko ada yang tertimbun oleh reruntuhan sehingga mengalami luka berat dan ringan. Dalam peristiwa ini, 20 buah toko di sekitar hotel itu mengalami kerusakan berat, 24 buah kendaraan sedan hancur, 30 orang meninggal, 35 orang mengalami luka-luka berat dan ringan. Di antara orang-orang yang berdesakan dari dalam gedung ingin keluar dari hotel tersebut tampak seorang pemuda ganteng yang tak lain adalah Usman.

Suasana yang penuh kepanikan bagi penghuni Hotel Mac Donald dan sekitarnya, namun Usman dan anggotanya dengan tenang berjalan semakin menjauh ditelan kegelapan malam untuk menghindar dari kecurigaan. Mereka kembali memencar menuju tempat perlindungan masing-masing.

Pada hari itu juga tanggal 10 Maret 1965 mereka berkumpul kembali. Bersepakat bagaimana caranya untuk kembali ke pangkalan. Situasi menjadi sulit, seluruh aparat keamanan Singapura dikerahkan untuk mencari pelaku yang meledakkan Hotel Mac Donald. Melihat situasi demikian sulitnya, lagi pula penjagaan sangat ketat, tak ada celah selubang jarumpun untuk bisa ditembus. Sulit bagi Usman, Harun dan Gani keluar dari wilayah Singapura.

Untuk mencari jalan keluar, Usman dan anggotanya sepakat untuk menerobos penjagaan dengan menempuh jalan masing masing, Usman bersama Harun, sedangkan Gani bergerak sendiri. Setelah berhasil melaksanakan tugas, pada tanggal 11 Maret 1965 Usman dan anggotanya bertemu kembali dengan diawali salam kemenangan, karena apa yang mereka lakukan berhasil. Dengan kata sepakat telah disetujui secara bulat
untuk kembali ke pangkalan dan sekaligus melaporkan hasil yang telah dicapai kepada atasannya. Sebelum berpisah Usman menyampaikan pesan kepada anggotanya, barang siapa yang lebih dahulu sampai ke induk pasukan, supaya melaporkan hasil tugas telah dilakukan kepada atasan. Mulai saat inilah Usman dan Harus berpisah dengan Gani sampai akhir hidupnya.

Gagal kembali ke pangkalan.
Usaha ketiga Sukarelawan kembali ke pangkalan dengan jalan masing-masing. Tetapi Usman yang bertindak sebagai pimpinan tidak mau melepas Harun berjalan sendiri, hal ini karena Usman sendiri belum faham betul dengan daerah Singapura, walaupun ia sering memasuki daerah ini. Karena itu Usman meminta kepada Harun supaya mereka bersama-sama mencari jalan keluar ke pangkalan. Untuk menghindari kecurigaan terhadap mereka berdua, mereka berjalan saling berjauhan, seolah-olah kelihatan yang satu dengan yang lain
tidak ada hubungan sama sekali. Namun walaupun demikian tetap tidak lepas dari pengawasan masing-masing dan ikatan mereka dijalin dengan isyarat tertentu. Semua jalan telah mereka tempuh, namun semua itu gagal.

Dengan berbagai usaha akhirnya mereka berdua dapat memasuki pelabuhan Singapura, mereka dapat menaiki kapal dagang Begama yang pada waktu itu akan berlayar menuju Bangkok. Kedua anak muda itu menyamar sebagai pelayan dapur.Sampai tanggal 12 Maret 1965 mereka berdua bersembunyi di kapal tersebut.
Tetapi pada malam itu, waktu Kapten kapal Begama mengetahui ada dua orang yang bukan anak buahnya berada dalam kapal, lalu mengusir mereka dari kapal.

Kalau tidak mau pergi dari kapalnya, akan dilaporkan kepada Polisi. Alasan mengusir kedua pemuda itu karena takut diketahui oleh Pemerintah Singapura, kapalnya akan ditahan. Akhirnya pada tanggal 13 Maret 1965 kedua Sukarelawan Indonesia keluar dari persembunyiannya.

Usman dan Harun terus berusaha mencari sebuah kapal tempat bersembunyi supaya dapat keluar dari daerah Singapura. Ketika mereka sedang mencari-cari kapal, tiba-tiba tampaklah sebuah motorboat yang dikemudikan oleh seorang Cina. Daripada tidak berbuat akan tertangkap, lebih baik berbuat dengan dua
kemungkinan tertangkap atau dapat lolos dari bahaya. Akhirnya dengan tidak pikir panjang mereka merebut motorboat dari pengemudinya dan dengan cekatan mereka mengambil alih kemudi, kemudian haluan diarahkan menuju ke Pulau Sambu. Tetapi apadaya manusia boleh berencana, Tuhan yang menentukan.

Sebelum mereka sampai ke perbatasan perairan Singapura, motorboatnya macet di tengah laut. Mereka tidak dapat lagi menghindari diri dari patroli musuh, sehingga pada pukul 09.00 tanggal 13 Maret 1965 Usman dan Harun tertangkap di bawa ke Singapura sebagai tawanan.

Mereka menyerahkan diri kepada Tuhan, semua dihadapi walau apa yang terjadi, karena usaha telah maksimal untuk mencari jalan. Nasib manusia di tangan Tuhan, semua itu adalah kehendak-Nya. Karena itulah Usman dan Harus tenang saja, tidak ada rasa takut dan penyesalan yang terdapat pada diri mereka.
Sebelum diadili mereka berdua mendekam dalam penjara. Mereka dengan sabar menunggu saat mereka akan dibawa ke meja hijau. Alam Indonesia telah ditinggalkan, apakah untuk tinggal selama-lamanya, semua itu hanya Tuhan yang Maha Mengetahui.

TABAH SAMPAI AKHIR
Proses Pengadilan.
Usman dan Harun selama kurang lebih 8 bulan telah meringkuk di dalam penjara Singapura sebagai tawanan dan mereka dengan tabah menunggu prosesnya. Pada tanggal 4 Oktober 1965 Usman dan Harun di hadapkan ke depan sidang Pengadilan Mahkamah Tinggi (High Court) Singapura dengan J. Chua sebagai Hakim. Usman dai Harun dihadapkan ke Sidang Pengadilan Tinggi (High Court) Singapura dengan tuduhan :
1. Menurut ketentuan International Security Act Usman dan Harun telah melanggar Control Area.
2. Telah melakukan pembunuhan terhadap tiga orang.
3. Telah menempatkan alat peledak dan menyalakannya.

Dalam proses pengadilan ini, Usman dan Harun tidak dilakukan pemeriksaan pendahuluan, sesuai dengan Emergency Crimina Trials Regulation tahun 1964. Dalam Sidang Pengadilan Tinggi (Hight Court) kedua tertuduh Usman dan Harun telah menolak semua tuduhan itu. Hal ini mereka lakukan bukan kehendak
sendiri, karena dalam keadaan perang. Oleh karena itu mereka meminta kepada sidang supaya mereka dilakukan sebagai tawanan perang (Prisoner of War).

Namun tangkisan tertuduh Usman dan Harun tidak mendapat tanggapan yang layak dari sidang majelis. Hakim telah menola permintaan tertuduh, karena sewaktu kedua tertuduh tertangkap tidak memakai pakaian militer. Persidangan berjalan kurang lebih dua minggu, pada tanggi 20 Oktober 1965 Sidang Pengadilan Tinggi (High Court) yang dipimpin oleh Hakim J. Chua memutuskan bahwa Usman dan Harun telah melakukan sabotase dan mengakibatkan meninggalnya tiga orang sipil. Dengan dalih ini, kedua tertuduh dijatuhi hukuman mati.

Pada tanggal 6 Juni 1966 Usman dan Harun mengajukan naik banding ke Federal Court of Malaysia dengan Hakim yang mengadilinya: Chong Yiu, Tan Ah Tah dan J.J. Amrose. Pada tanggal 5 Oktober 1966 Federal Court of Malaysia menolak perkara naik banding Usman dan Harun. Kemudian pada tanggal 17 Februari 1967
perkara tersebut diajukan lagi ke Privy Council di London. Dalam kasus ini Pemerintah Indonesia menyediakan empat Sarjana Hukum sebagai pembela yaitu Mr. Barga dari Singapura, Noel Benyamin dari Malayasia, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja SH dari Indonesia, dan Letkol (L) Gani Djemat SH Atase ALRI di Singapura. Usaha penyelamatan jiwa kedua pemuda Indonesia itu gagal. Surat penolakan datang pada tanggal 21 Mei 1968.

Setelah usaha naik banding mengenai perkara Usman dan Harun ke Badan Tertinggi yang berlaku di Singapura itu gagal, maka usaha terakhir adalah untuk mendapat grasi dari Presiden Singapura Yusuf bin Ishak. Permohonan ini diajukan pada tanggal 1 Juni 1968. Bersamaan dengan itu usaha penyelamatan kedua prajurit oleh Pemerintah Indonesia makin ditingkatkan. Kedutaan RI di Singapura diperintahkan untuk mempergunakan segala upaya yang mungkin dapat dijalankan guna memperoleh pengampunan. Setidak-tidaknya memperingan kedua sukarelawan Indonesia tersebut. Pada tanggal 4 Mei 1968 Menteri Luar Negeri Adam Malik berusaha melalui Menteri Luar Negeri Singapura membantu usaha yang dilakukan KBRI. Ternyata usaha inipun mengalami kegagalan. Pada tanggal 9 Oktober 1968 Menlu Singapura menyatakan bahwa permohonan grasi atas hukuman mati Usman dan Harun ditolak oleh Presiden Singapura.

Pemerintah Indonesia dalam saat-saat terakhir hidup Usman dan Harun terus berusaha mencari jalan. Pada tanggal 15 Oktober 1968 Presiden Suharto mengirim utusan pribadi, Brigjen TNI Tjokropanolo ke Singapura untuk menyelamatkan kedua patriot Indonesia. Pada saat itu PM Malaysia Tengku Abdulrahman juga meminta kepada Pemerintah Singapura agar mengabulkan permintaan Pemerintah Indonesia. Namun Pemerintah Singapura tetap pada pendiriannya tidak mengabulkannya. Bahkan demi untuk menjaga prinsip-prinsip
tertib hukum, Singapura tetap akan melaksanakan hukuman mati terhadap dua orang KKO Usman dan Harun, yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 1968 pukul 06.00 pagi waktu Singapura.

Permintan terakhir Presiden Suharto agar pelaksanaan hukuman terhadap kedua mereka ini dapat ditunda satu minggu untuk mempertemukan kedua terhukum dengan orang tuanya dan sanak farmilinya. Permintaan ini juga ditolak oleh Pemerintah Singapura tetap pada keputusannya, melaksanakan hukuman gantung
terhadap Usman dan Harun.

Pesan terakhir.
Waktu berjalan terus dan sampailah pada pelaksanaan hukuman, dimana Pemerintah Singapura telah memutuskan dan menentukan bahwa pelaksanaan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun tanggal 17 Oktober 1968, tepat pukul 06.00 pagi Dunia merasa terharu memikirkan nasib kedua patriot Indonesia yang gagah perkasa, tabah dan menyerahkan semua itu kepada pencipta – Nya.

Seluruh rakyat Indonesia ikut merasakan nasib kedua patriot ini. Demikian juga dengan Pemerintah Indonesia, para pemimpin terus berusaha untuk menyelesaikan masalah ini. Sebab merupakan masalah nasional yang menyangkut perlindungan dan pem belaan warga negaranya. Satu malam sebelum pelaksanaan hukuman, hari Rabu sore tanggal 16 Oktober 1968, Brigjen TIN Tjokropranolo sebagai utusan pribadi Presiden Suharto datang ke penjara Changi. Dengan diantar Kuasa Usaha Republik Indonesia di Singapura Kolonel A. Ramli dan
didampingi Atase Angkatan Laut Letkol (G) Gani Djemat SH, dapat berhadapan dengan Usman dan Harun di balik terali besi yang menyeramkan pada pukul 16.00. Tempat inilah yang telah dirasakan oleh Usman dan Harun selama dalam penjara dan di tempat ini pula hidupnya berakhir.

Para utusan merasa kagum karena telah sekian tahun meringkuk dalam penjara dan meninggalkan tanah air, namun dari wajahnya tergambar kecerahan dan kegembiraan, dengan kondisi fisik yang kokoh dan tegap seperti gaya khas seorang prajurit KKO AL yang tertempa. Tidak terlihat rasa takut dan gelisah yang membebani mereka, walaupun sebentar lagi tiang gantungan sudah menunggu.

Keduanya segera mengambil sikap sempurna dan memberikan hormat serta memberikan laporan lengkap, ketika Letkol Gani Djemat SH memperkenalkan Brigjen Tjokropranolo sebagai utusan Presiden Suharto. Sikap yang demikian membuat Brigjen Tjokropranolo hampir tak dapat menguasai diri dan terasa berat untuk menyampaikan pesan. Pertemuan ini membawa suasana haru, sebagai pertemuan Bapak dan Anak yang mengantarkan perpisahan yang tak akan bertemu lagi untuk selamanya. Hanya satu-satunya pesan yang disampaikan adalah bahwa Presiden Suharto telah menyatakan mereka sebagai Pahlawan dan akan dihormati
oleh seluruh rakyat Indonesia, kemudian menyampaikan salut atas jasa mereka berdua terhadap Negara.

Sebagai manusia beragama, Brigjen Tjokropranolo mengingatkan kembali supaya tetap teguh, tawakal dan berdoa, percayalah bahwa Tuhan selalu bersama kita. Kolonel A. Rambli dalam kesempatan itu pula
menyampaikan, bahwa Presiden Suharto mengabulkan permintaan mereka untuk dimakamkan berdampingan di Indonesia.

Sebelum berpisah Usman dan Harun dengan sikap sempurna menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Presiden RI Jenderal Suharto atas usahanya, kepada Jenderal Panggabean, kepada mahasiswa dan pelajar, Sarjana Hukum, dan Rakyat Indonesia yang telah melakukan upaya kepadanya. Pertemuan selesai, Sersan KKO Usman memberikan aba-aba, dan keduanya memberi hormat.

Menjalani Hukuman Mati.
Pada saat ketiga pejabat Indonesia meninggalkan penjara Changi, Usman dan Harun kembali masuk penjara, tempat yang tertutup dari keramaian dunia. Usman dan Harun termasuk orang-orang yang teguh terhadap agama. Mereka berdua adalah pemeluk agama Islam yang saleh. Di alam yang sepi itu menambah hati mereka semakin dekat dengan pencipta – Nya. Karena itu empat tahun dapat mereka lalui dengan tenang. Mereka selalu dapat tidur dengan nyenyaknya walaupun pelaksanaan hukuman mati semakin dekat.

Pemerintah dan rakyat Indonesia mengenang kembali perjuangan kedua pemuda ini dan dengan keharuan ikut merasakan akan nasib yang menimpa mereka. Sedangkan Usman dan Harun dengan tenang menghuni penjara Changi yang sepi dan suram itu. Mereka menghuni ruangan yang dibatasi oleh empat dinding tembok, sedangkan di luar para petugas terus mengawasi dengan ketat. Usman dan Harun yang penuh dengan iman dan taqwa dan semangat juang yang telah ditempa oleh Korpsnya KKO AL menambah modal besar untuk memberikan ketenangan dalam diri mereka yang akan menghadapi maut.

Di penjara Changi, pada hari itu udara masih sangat dingin Suasana mencekam, tetapi dalam penjara Changi kelihatan sibuk sekali. Petugas penjara sejak sore sudah berjaga-jaga, dan pada hari itu tampak lebih sibuk lagi. Di sebuah ruangan kecil dengan terali-terali besi rangkap dua Usman dan Harun benar-benar tidur dengan pulasnya. Meskipun pada hari itu mereka akan menghadapi maut, namun kedua prajurit itu merasa tidak gentar bahkan khawatirpun tidak. Dengan penuh tawakal dan keberanian luar biasa mereka akan menghadapi tali gantungan. Sikap kukuh dan tabah ini tercermin dalam surat-surat yang mereka tulis pada tanggal 16 Oktober 1968, yang tetap melambangkan ketegaran jiwa dan menerima hukuman dengan gagah berani. Betapa tabahnya mereka menghadapi kematian, hal in dapat dilihat dari surat-surat mereka yang dikirimkan kepada
keluarganya:

Sebagian Surat Usman yang berbunyi sebagai berikut:
Berhubung tuduhan dinda yang bersangkutan maka perlu anak anda menghaturkan berita duka kepangkuan Bunda sekeluarga semua di sini bahwa pelaksanaan hukuman mati ke atas anakanda telah diputus kan pada 17 Oktober 1968, hari Kamis 24 Rajab 1388.

Sebagian isi surat dari Harun sebagai berikut:
Bersama ini adindamu menyampaikan berita yang sangat mengharukan seisi kaum keluarga di sana itu ialah pada 14-10-1968 jam 10.00 pagi waktu Singapura rayuan adinda tetap akan menerima hukuman gantungan sampai mati.

MENGHADAPI TIANG GANTUNGAN
Pukul 05.00 subuh kedua tawanan itu dibangunkan oleh petugas penjara, kemudian disuruh sembahyang menurut agamanya masing-masing. Sebenarnya tanpa diperintah ataupun dibangunkan Usman dan Harun
setiap waktu tidak pernah melupakan kewajibannya untuk bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena sejak kecil kedua pemuda itu sudah diajar masalah keagamaan dengan matang.

Setelah melakukan sembahyang Usman dan Harun dengan tangan diborgol dibawa oleh petugas ke kamar kesehatan untuk dibius. Dalam keadaan terbius dan tidak sadar masing-masing urat nadinya dipotong
oleh dokter tersebut, sehingga mereka berdua lumpuh sama sekali.

Dalam keadaan, lumpuh dan tangan tetap diborgol, Usman dan Harun dibawapetugas menuju ke tiang gantungan. Tepat pukul 06.00 pagi hari Kamis tanggal 17 Oktober 1968 tali gantungan kalungkan ke leher Usman dan harun.

Pada waktu itu pula seluruh rakyat Indonesia yang mengetahui bahwa kedua prajurit Indonesia digantung batang lehernya tanpa mengingat segi-segi kemanusiaan menundukkan kepala sebagai tanda berkabung. Kemudian mereka menengadah berdoa kepada Illahi semoga arwah kedua prajurit Indonesia itu mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya. Mereka telah terjerat di ujung tali gantungan di negeri orang, Jauh dari sanak keluarga, negara dan bangsanya.Mereka pergi untuk selama-lamanya demi kejayaan Negara, Bangsa
dan Tanah Air tercinta.

Eksekusi telah selesai, Usman dan Harun telah terbujur, terpisah nyawa dari jasadnya. Kemudian pejabat penjara Changi keluar menyampaikan berita kepada para wartawan yang telah menanti dan tekun mengikuti peristiwa ini, bahwa hukuman telah dilaksanakan. Dengan sekejap itu pula tersiar berita ke seluruh penjuru dunia menghiasi lembaran massa media sebagai pengumuman terhadap dunia atas terlaksananya hukuman gantungan terhadap Usman dan Harun.

Bendera merah putih telah dikibarkan setengah tiang sebagai tanda berkabung. Sedangkan masyarakat Indonesia yang berada di Singapura berbondong-bondong datang membanjiri Kantor Perwakilan Indonesia dengan membawa karangan bunga sebagai tanda kehormatan terakhir terhadap kedua prajuritnya.

Begitu mendapat berita pelaksanaan eksekusi PemerintaH Indonesia mengirim Dr. Ghafur dengan empat pegawai KedutaaN Besar RI ke penjara Changi untuk menerima kedua jenazah iti dan untuk dibawa ke Gedung Kedutaan Besar RI untuk dise mayamkan. Akan tetapi kedua jenazah belum boleh dikeluarkan dari penjara sebelum dimasukkan ke dalam peti dan menunggu perintah selanjutnya dari Pemerintah Singapura. Pemerintah Indonesia mendatangkan lima Ulama untuk mengurus kedua jenazah di dalam penjara Changi. Setelah jenazah di masukkan ke dalam peti, Pemerintah Singapura tidak mengizinkan Bendera Merah Putih yang dikirimkan Pemerintah Indonesia untuk di selubungkan pada peti jenazah kedua Pahlawan tersebut pada saat masih di dalam penjara. Pukul 10.30 kedua jenzah baru diizinkan dibawa ke Kedutaan Besar RI

Mendapat penghormatan terakhir dan Anugerah dari Pemerintah
Setelah mendapatkan penghormatan terakhir dari masya rakat Indonesia di KBRI, pukul 14.00 jenazah diberangkatkan ke lapangan terbang dimana telah menunggu pesawat TNI-AU. yang akan membawa ke Tanah Air.

Pada hari itu Presiden Suharto sedang berada di Pontianak meninjau daerah Kalimantan Barat yang masih mendapat gangguan dari gerombolan PGRS dan Paraku. Waktu Presiden diberitahukan bahwa Pemerintah Singapura telah melaksanakan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun, maka Presiden Suharto menyatakan kedua prajurit KKO-AL itu sebagai Pahlawan Nasional.

Copyright goes to silkworm@indoflyer.net

credit goes to silkworm@indoflyer.net

Copyright goes to silkworm@indoflyer.net

Pada pukul 14.35 pesawat TNI-AU yang khusus dikirim dari Jakarta meninggalkan lapangan terbang Changi membawa kedua jenazah yang telah diselimuti oleh dua buah bendera Merah Putih yang dibawa dari Jakarta. Pada hari itu juga, tanggal 17 Oktober 1968 kedua Pahlawan Usman dan Harun telah tiba di Tanah Air. Puluhan ribu, bahkan ratusan ribu rakyat Indonesia menjemput kedatangannya dengan penuh haru dan cucuran air mata. Sepanjang jalan antara Kemayoran, Merdeka Barat penuh berjejal manusia yang ingin
melihat kedatangan kedua Pahlawannya, Pahlawan yang membela kejayaan Negara, Bangsa dan Tanah Air.

Setibanya di lapangan terbang Kemayoran kedua jenazah Pahlawan itu diterima oleh Panglima Angkatan Laut Laksamana TNI R. Muljadi dan seterusnya disemayamkan di Aula Hankam Jalan Merdeka Barat sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Pada upacara penyerahan kedua jenazah Pahlawan ini menimbulkan suasana yang mengharukan. Di samping kesedihan yang meliputi wajah masyarakat yang menghadiri upacara tersebut, di dalam hati mereka tersimpan kemarahan yang tak terhingga atas perlakuan negara tetangga yang sebelumnya telah mereka
anggap sebagai sahabat baik. Pada barisan paling depan terdiri dari barisan Korps Musik KKO-AL yang memperdengarkan musik sedih lagu gugur bunga, kemudian disusul dengan barisan karangan bunga. Kedua peti jenazah tertutup dengan bendera Merah Putih yang ditaburi bunga di atasnya. Kedua peti ini
didasarkan kepada Inspektur Upacara Laksamana TNI R. Mulyadi yang kemudian diserahkan kepada Kas Hankam Letjen TNI Kartakusumah di Aula Hankam.

Di belakang peti turut mengiringi Brigjen TNI Tjokropranolo dan Kuasa Usaha RI untuk Singapura Letkol M. Ramli yang langsung mengantar jenazah Usman dan Harun dari Singapura. Suasana tambah mengharukan dalam upacara ini karena baik Brigjen Tjokropranolo maupun Laksamana R. Muljadi kelihatan meneteskan air mata.

Malam harinya, setelah disemayamkan di Aula Hankam mendapat penghormatan terakhir dari pejabat-pejabat Pemerintah, baik militer maupun sipil, Jenderal TNI Nasution kelihatan bersama pengunjung melakukan sembahyang dan beliau menunggui jenazah Usman dan Harun sampai larut malam.

Tepat pukul 13.00 siang, sesudah sembahyang Jum’at, kedua jenazah diberangkatkan dari Aula Hankam menuju ke tempat peristirahatan yang terakhir. Jalan yang dilalui iringan ini dimulai Jalan Merdeka Barat, Jalan
M.H. Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Gatot Subroto, Jalan Pasar Minggu dan akhirnya sampai kalibata. Sepanjang jalan yang dilalui antara Merdeka Barat dan Kalibata, puluhan ribu rakyat berjejal menundukkan kepala sebagai penghormatan terakhir diberikan kepada kedua Pahlawannya. Turut
mengiringi dan mengantar kedua jenazah ini, pihak kedua keluarga, para Menteri Kabinet Pembangunan.
Laksamana R. Muljadi, Letjen Kartakusumah, Perwira-perwin Tinggi ABRI, Korps Diplomatik, Ormas dan Orpol, dan tidak ketinggalan para pemuda dan pelajar serta masyarakat. Upacara pemakaman ini berjalan dengan penuh khidmat dan mengharukan. Bertindak sebagai Inspektur Upacara adalah Letjen Sarbini. Atas nama
Pemerintah Letjen Sarbini menyerahkan kedua jasad Pahlawan ini kepada Ibu Pertiwi dan dengan diiringi doa semoga arwahnya dapat diberikan tempat yang layak sesuai dengan amal bhaktinya.

Dengan didahului tembakan salvo oleh pasukan khusus dari keempat angkatan, peti jenazah diturunkan dengan perlahan-lahan ke liang lahat. Suasana bertambah haru setelah diperdengarkan lagu Gugur Bunga.
Pengorbanan dan jasa yang disumbangkan oleh Usman dan Harun terhadap Negara dan Bangsa maka Pemerintah telah me naikkan pangkat mereka satu tingkat lebih tinggi yaitu Usmar alias Janatin bin Haji Muhammad Ali menjadi Sersan Anumerta KKO dan Harun alias Tohir bin Mandar menjadi Kopral Anumerta KKO. Sebagai penghargaan Pemerintah menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Sakti dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional.

Copyright by : Korps Marinir


Sumber:

Polar Home,

http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/u/usman-harun/index.shtml

Read more...

Jumat, 12 November 2010

Tepung Terigu murah di wilayah kediri

Tepung terigu murah untuk wilayah kediri kota dan kabupaten

Terigu dengan merk NE import dari turkey.

Harga terigu NE Rp 124.0000,- per sak
1 sak = dua puluh lima kilo gram

Minimal pemesanan 30 sak

Minat hubungi saya di 085755832731 harga bisa berubah sewaktu waktu

Read more...

BUMI MALANG MIG33 COMUNITY

Pengikut

About This Blog

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP